TERKUBUR SEMAK ILALANG (KISAH NYATA : MENGUNGKAP KISAH KEPALA SD PENGABDI SEJATI)

 
 Assalamu'alaikum War Wab.
Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional kali ini perkenankan saya mempersembahkan sebuah kisah nyata yang pernah ada di daerah Pati Utara. Tidak banyak yang mengabadikan kisah tersebut, karena kisah itu terseting di daerah pedesaan. Namun saya selaku saksi hidup, di hari yang bersejarah ini mencoba untuk menceritakan kisah tersebut kepada orang lain, terutama para generasi muda harapan bangsa. Nah, demikian inilah kisahnya,

Cerpen Pilihan 
Judul     : Terbubur Semak Ilalang
Penulis  : Sikarang Batukapur
     

            Pada saat itu tak ada pilihan lain. Satu-satunya siasat yang dianggapnya canggih adalah menceburkan diri di genangan air busuk selokan pinggiran pasar. Mestinya, perilaku semacam itu bukan pikiran sehat yang mengendalikan, dan  bisa  saja dikatakan tindakan yang teramat tolol. Tapi mengapa malah dianggap sebagai penyelesaian yang terbaik ?. Baru disebut air selokan saja, sudah menimbulkan gambaran yang kotor, keruh dan kumuh di benak. Apalagi tempatnya di pinggiran pasar, tentu saja tidak lepas dari bau busuk dan anyir yang sangat menyengat dan mengundang lalat. Belum lagi kotoran padat maupun cair yang tak jarang pula  dibuang di situ oleh makhluk Tuhan yang tak punya akal, yaitu anjing, kucing, dan orang gila. Maka, walaupun  pilihan konyol itu seolah muncul dari balik alam  bawah sadar, tapi sebenarnya tak lebih sebagai respon dari kecerdikannya mengantisipasi situasi pada saat itu. Dan memang itu satu-satunya cara yang harus dilakukan, sebagai tebusan  keselamatan jiwanya yang mendadak dieksekusi oleh ketakutan yang membabibuta. Desingan peluru panas pasukan Dai Nippon menyisir kawasan pasar Peterongan Semarang. Itulah biang histeris yang memporakporandakan sekelompok pasukan Tentara Pelajar yang tengah berdiskusi mengatur strategi penyerangan terhadap tentara Jepang menjelang fajar tiba. Namun tak tersangka sebelumnya, tiga truk divisi serdadu Jepang  tiba-tiba    datang dengan memamerkan serentetan ledakan senapan mesin, mengusik keheningan malam.
               Pada masa itu, negeri ini butuh pejuang yang berani dan rela mempertaruhkan jiwa raganya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Maka para pelajarpun tak berdiam diri. Dengan penuh keikhlasan mereka menggandakan kewajibannya sebagai kesuma bangsa. Bukan saja belajar untuk menambang ilmu, namun dengan tekat bulat dan semangat membara mereka mengangkat senjata sebagai prajurit. Termasuk Kasmina, satu dantara pemuda yang meniarapkan diri di air comberan selokan pinggiran pasar Peterongan Semarang waktu itu. Disamping menyandang tugas sebagai Tentara Pelajar, dia juga bertanggungjawab sebagai siswa Sekolah Guru Atas (SGA). Sebenarnya, dari segi pemikiran maupun karakter telah mempersiapkannya untuk menjadi seorang guru. Namun apa kata bangsa, jika calon pendidik tak acuh pada penderitaan rakyat.
                Hidup sebagai pemburu dan diburu lawanpun dijalani Kasmina dengan tabah sampai gerbang kebebasan tiba. Negeri ini sepenuhnya meraih kemerdekaan dan kedaulatan, inilah harapan yang ditunggu-tunggu. Kebebasan merancang nasib boleh dimiliki oleh siapa saja, termasuk pemuda Kasmina yang memilih untuk menjadi guru demi melanjutkan perjuangannya membina anak bangsa. Dia sadar betul, bahwa masa depan negeri ini butuh sentuhan tangan profesional generasi penerus yang cerdas, terampil, dan berakhlak mulia. Di medan itulah pemuda Kasmina hendak menyambung pengabdian untuk bangsa dan negara.
                “Sudah dapat berapa, pak….?”, tanya lelaki muda sambil tersenyum hangat.
               “Baru sembilan”, jawab lelaki setengah baya itu, singkat. “Biasanya menjelang asyar seperti ini sudah dapat lumayan. Tak kurang dari lima belas. Malah sering lebih. Ya, mau bilang apa, memang yang namanya rejeki itu misteri”, lanjut lelaki setengah baya sambil menghela nafas.
               Sebentar lagi memang harus  pulang walaupun baru memperoleh sembilan ekor burung perkutut. Tak boleh kecewa. Bukankah upaya sudah dilakukan ? Tentang hasil adalah ketentuan Allah. Dari pada tidak berbuat sama sekali, apa yang bisa didapat ? Memang kali ini baru dapat jatah rejeki yang kecil. Dialog batin lelaki setengah baya itu meredam kekesalan.
                   “Ma’af, kenalkan pak, nama saya Wisnu, yang merawat ladang jagung ini”,lelaki muda yang berwarna Wisnu itu sembari mengulurkan tangan kanannya.
                   “Nama saya Kasmina. Tinggal di desa Ngetuk, kecamatan Gunung Wungkal, kabupaten Pati”, balas lelaki setengah umur itu sembari menggenggam tangan Wisnu. “Bapak juga minta ma’af, ya mas, karena telah pakai kebunmu tanpa lapor dulu”, Kasmina menambahkan.
                   “Tak apa pak. Pakai saja kapan bapak suka”.
                   Penjaring burung perkutut itu ternyata mantan tentara pelajar yang bernama pak Kasmina. Profesi sebagai penangkap burung dilakukan  karena harus mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya,  Bukan berarti dia telah mendholimi ikrar hatinya untuk melanjutkan pengabdian selaku pendidik anak bangsa. Ikrar itu tetap hidup, dan tak boleh mati mendahului kepergian jiwanya. Maka beberapa orang akan menjumpai Kasmina si penjaring burung perkutut di saat-saat sekolah libur. Sedangkan di waktu lain, dijumpainya Kasmina sebagai Kepala SD Negeri 2 Ngetuk, kecamatan Gunung Wungkal, kabupaten Pati.
                   Pak Kasmina tak pernah menyesal dengan keputusan hati yang dijalani miskipun berbuntut penderitaan. Dia sadar betul, sebagai penanggungjawab ekonomi keluarga harus bisa memperlakukan anak istri sebagaimana layaknya. Tak cukup dengan kasih sayang, pengetian, maupun perhatian, tapi  untuk mencukupi kebutuhan keseharian harus ada, walaupun sangat minim. Sedangkan gaji kepala SD yang diterima setiap bulannya belum impas untuk kebutuhan itu, malah bisa dibilang kurang. Itulah penyebab Kasmina harus mengkais rejeki dari sumber lain untuk mengurangi beban hutang agar tidak kian melilit. Sedangkan di belahan hati lain, juga tak akan diingkari, sebagai figur penaggungjawab dinamika pendidikan anak bangsa mesti harus diperlakukan dengan penuh keseriusan, hingga mampu menghasilkan karya nyata yang bermanfaat. Karena itu, selain hari libur sekolah, Kasmina lebih banyak menyibukkan diri di sekolah, mewujudkan kreativitasnya untuk perubahan yang lebih baik. Apalagi tempat tinggalya berdekatan dengan lokasi sekolah. Sehinga gambaran apa yang diimpikan pada sekolah itu sepertinya selalu tampil di depan matanya.
                   “Nanti sore les apa, pak ?”, tanya Suparwi siswa kelas 5 pada pak Kasmina di saat akan pulang sekolah.
                   “Ya seperti biasanya, bahasa jawa”, balasnya singkat.
                   “Kenapa selalu bahasa jawa sih pak, tidak gantian pelajaran lain ?”, protes Suparwi.
                   “Biar kamu tahu unggah-ungguh, tata karma, sopan-santun, dan bisa berbahasa jawa dengan benar”, jelas Pak Kepala SD itu. Suparwipun diam, tak membantah.
                   Barangkali pak Kasmina telah menangkap gelagat kurang baik mulai  mengacam keberadaan tradisi mulia warisan leluhur. Terutama tata cara pergaulan sebagian remaja di masyakarat yang mulai bergeser ke arah dunia barat. Sehingga dalam bersikap dan berkomunikasi tak ada tuntunan yang harus diikuti. Tata karma dianggap sebagai pengetahuan yang cukup dimengerti saja, dan bukan suatu tindakan yang harus diamalan. Angapan itulah yang bakal menjadi virus pembunuh karakter luhur bangsa Indonesia. Sedangkanan kualitas ilmu pengetahuan jika tak imbang dengan karakter positip generasi muda akan sangat berbahaya. Skil dan kecerdikan tak bisa diharap menjadi alat penambang kesejahteraan dan kedamaian. Bahkan sebaliknya. Pekerjan haram yang meresahkan, menyakiti, dan menganiaya mayarakat akan menjamur di mana-mana. Kejujuran hukum hanya tinggal kemasannya, sedang ruhnya tak bisa  diharap banyak membela kebenaran. Berawal dari kekhawatiran yang menakutkan itulah, pak Kasmina mengawali tindakan preventif dengan menamkan pendikan karakter lewat tata karma.
                   Selaku kepala sekolah, telah cukup waktu pak Kasmina bergelut dengan pembenahan karakter anak didiknya. Namun tak sia-sia upaya yang telah dilakukan. Masyarakat mencium semua itu. Maka  dukungan dan kepercayaan masyarakatpun semakin semarak, memicu jumlah siswa yang bertambah dari tahun ketahun. Sehingga prestasipun  terangkat. Apalagi pemerintah desa setempat sering memakai tenaga dan pikiran pak Kasmina selaku  penatar P4 di kawasan sekitar tempat tinggalnya. Kepercayaan dari pemerintah itu mengiring gerak langkahnya menjadi kepala sekolah yang ditokohkan oleh siswa, guru, dan masyarakat. Maka citra SDN 2 Ngetuk pada masa kepemimpinan bapak Kasmina harum semerbak ibarat melati yang sedang mekar.
                   “Ada apa terbengong di sini mas “, suara sendu perempuan muda mengagetkanku. Lamunan yang telah terancang sesaat mendadak sirna. Kini situasi nyata hadir di depan mata. Semak belukar penuh ilalang dan tumbuhan liar telah merubah segalanya. Sederet bangunan yang tertata rapi, asri, dan rindang telah raib tak bersisa. Bahkan sebuah bendapun tak ada yang mampu dijadikan sebagai prasasti. Lantas kemanakah bangunan SDN 2 Ngetuk itu…?
                   “Aku bingung, mbak. Seingatku di sini dulu ada bangunan SD, sekarang kok berubah jadi semak belukar”, kupaparkan keherananku padanya.
                   “Benar, di sini dulu memang ada SD yang banyak muridnya. Tapi setelah kepala sekolahnya pindah tempat tinggal karena pensiun, berangsur-angsur surut, hingga tak diminati masyarakat. Kemudian ditutup. Bangunannya jadi tak terurus, akhirnya roboh dengan sendirnya”, perempuan muda itu menjelaskan.
                   “Kalau boleh tahu mbak ini siapa ?”,
                   “Saya kepala desa di sini. Kalau …., mas ?”,
                  “Nama saya Bagong, mbak. Saya anak ketiga pak Kasmina yang pernah jadi Kepala SD di sini. Saya memang sengaja ke sini, ingin mengenang sepenggal kisah ayah saya menjelang akhir hidupnya. Namun yang kulihat tak seperti yang kubayangkan semula. Tapi…, kenapa sekolahan ini tak diminati, mbak ?”,
             “Kepala sekolah penggantinya tak suka mengambil hati masyarakat, mas. Sehinnga animo mereka tergeser ke sekolah yang lain. Sepertinya mereka kaum priyayi yang enggan bergaul dengan orang-orang desa yang lusuh”.
                   “Ooo….., begitu. Yah, terimakasih, mbak sudah memberikan penjelasan kepada saya”
                   “Sama-sama, mas”.
                   Speda motor kuhidupkan. Gemuruh suara mesin menyertai kepergianku meninggalkan pemandangan yang menyakitkan itu. Buah perjuangan ayahku yang terintis di ujung hayat, kini telah raib terkubur semak ilalang. Hanya sepenggal kisah masyarakat setempat yang masih hidup sebagai saksi,  bahwa di tempat itu pernah bersemayan seorang pejuang pembenah karakter anak bangsa, yang tak pernah menuntut imbal jasa maupun penghargaan. Berharap disebut sebagai pahlawanpun tidak, karena sederet kalimat ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ itu  dilahirkan pada jaman yang berbeda.


Wassalamu'alaikum ar Wab

                                                                                  Pati Utara, 1 Mei 2016
                  
   


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

                    




Related Posts:

0 Response to "TERKUBUR SEMAK ILALANG (KISAH NYATA : MENGUNGKAP KISAH KEPALA SD PENGABDI SEJATI)"

Posting Komentar