---------------------------------------------------------------------------------------------------
Cinta Slamet dibawa mati
Cinta Slamet dibawa mati
By
: Sikarang Batukapur
(Cerita
ini hanya fiksi semata, maaf apabila ada kesamaan nama tokoh maupun isi cerita)
Ada sesuatu yang menepuk
bahu kiriku tanpa permisi sebelumnya, sehingga seketika itu juga semua yang
kusayangi lenyap. Tas exlusivku,
sepatu kulit faforitku yang mengkilat, seragam dinas PNS, sampai mobil kijang
model terbaruku yang sejak tadi
terparkir juga raib entah kemana, seolah-olah telah pergi ke alam yang berbeda.
Waktu itu aku memang linglung seperti orang idiot yang tersesat di
simpang jalan. Aku coba buka lebar-lebar kedua mataku sambil
jemari tangan kanan mencubit tangan kiriku. Oh..... sakit, jadi aku ini masih
hidup,dan tidak sedang berada di alam setan,
’Alhamdulillah’. Aku sadar sekarang, kalau aku tadi sedang terhanyut di
alam ilusi. Yaah, barangkali karena aku yang
sekarang ini punya status sebagai guru tidak tetap pada sebuah yayasan sangat
berharap bisa jadi seorang guru yang PNS, yang banyak digandrungi orang, yang penghasilannya dijamin oleh negara, yang
hidup makmur berkecukupan, yang bisa ambil sembarang kreditan termasuk kredit
mobil sekalipun.
”Yus, nanti sore kamu ada waktu ?”,
ucap temanku Slamet seorang guru PNS yang tadi telah menepuk bahuku. Slamet
memang bukan hanya sekedar teman guru yang mengajar di sebuah SMP yang sama,
lebih dari itu dia adalah teman senasib semasa sekolah di sebuah sekolah
teknik.
”Ada apa, Mik ?”, dengan meredam kesan kacauan yang ada pada
pikiranku, kubalas singkat pertanyaan Slamet yang lebih beken dipanggil
’Mamik’.
Slamet lantas mengajakku duduk di
sebuah bangku tua di bawah pohon mangga samping sekolah tempat kami mengajar. ”Aku
mau minta pendapatmu, Yus. Bagaimana
kalau kamu jadi aku, sedangkan istrimu yang sekarang sudah wiyata bakti di
sebuah SD tapi mau melanjutkan kuliah lagi di Semarang”, ujar Slamet sesaat
kemudian setelah kami duduk.
”Wah, itu bagus, Mik, mumpung
kaliyan belum punya anak. Lagi pula kamu kan PNS, kukira tak ada masalah kalau
tentang beaya. Kamu mesti berhitung, Mik, siapa tahu besuk kedua-duanya bisa
jadi PNS, sehingga bukan hanya kamu berdua saja yang akan menikmatinya, tapi
juga anak-anakmu kelak, dan tentu saja jangan lupa kedua orang tuamu.
Oh....sory, Mik, kelebihan ngomong, maksudku saudara-saudaramu, kamu kan sudah yatim
piatu walaupun jabatan itu kamu dapat belum begitu lama”, jawabku sambil
bergurau.
Nampaknya Slamet memang
benar-benar telah menemukan kebulatan tekatnya. Entah itu karena terhasut olehku, atau karena rasa cinta
terhadap intrinya, atau entah karena
ingin menumpuk fasilitas PNS yang sangat diidolakan banyak orang, atau entah
karena apa lagi, tapi yang telah menjadi kenyataan bahwa istrinya Slamet
beberapa tahun kemudian memang benar-benar diangkat derajatnya menjadi guru PNS
juga. Ya, semoga saja segala kemudahan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT
kepada mereka-mereka yang bernasib baik itu bisa benar-benar disyukuri,
terlebih lagi bisa menghadirkan kemanfaatan
bagi orang lain.
”Mik, kamu tahu, nggak, di luar
sana masih banyak orang saling berebut cari kerja ?. Sedangkan kamu seorang
PNS, istrimu juga PNS, kenapa kamu ikut-ikutan memforsir diri sepanjang waktu,
mondar-mandir kesana-kemari sepulang ngajar untuk berebut rezeki sama mereka
?”, protesku dengan temanku Slamet pada suatu hari yang aku sendiri juga sudah
lupa kapan itu terjadi.
”Maksudmu aku mencari sampingan
kerja sebagai fotografer itu tidak halal”, balas Slamet dengan raut wajah yang
menunjukkan kesan ’masa bodoh’. ”Tak kasih tahu ya, dua anakku sekolah butuh
beaya semua. Belum lagi pinjaman duit dari bank yang tak gunakan untuk mbangun
rumah juga perlu dibayar, Yus. Belum yang lain-lain lagi”, Slamet melanjutkan
argumennya.
”Tapi istrimu kan ya punya gaji PNS
yang cukup banyak menurut ukuraku, Mik. Masak istrimu gak pernah ngingatkan
kamu untuk jaga kesehatan ? Ingat, Mik, kesehatan itu mahal harganya. Lho !,
sampai-sampai ada seorang budayawan yang mengatakan ’orang miskin dilarang
sakit’. Maksudnya apa ?, ya, agar orang miskin jangan sampai berobat di rumah
sakit kalau mereka tidak ingin sakit hati. Jadi, kamu yang terlihat di kacamata
saya itu sudah layak untuk tidak ikut-ikutan mempersempit peluang mereka , ya
lebih baik kurangilah kegiatanmu yang melelahkan itu. Kamu jangan niru aku,
Mik. Kalau aku sih memang harus bisa memanfaatkan sisa waktuku ngajar untuk
mempertahankan hidup anak istriku. Cobalah kamu camkan kalimat-kalimatku tadi
!”, selintas petuahku memperingatkan Slamet.
”Aku paham maksudmu, Yus. Tapi
ya karena rasa sayang kepada anak-anakku, terutama lagi karena rasa cintaku
yang sangat dalam kepada istriku, sehingga aku harus berbuat begitu. Aku tidak
ingin istriku kecewa”, keluh Slamet sembari kedua matanya berkaca-kaca.
Mengilusikan paparan temanku
Slamet, aku lantas berpikir, apa ada sih ukuran materi yang bisa
mengkategorikan antara ’cukup’ dan ’kurang’ ? Kalau pribadiku sendiri
beranggapan bahwa kebahagiaan seseorang itu bertempat di dalam hati mereka
masing-masing. Ya, barangkali itu hanyalah sebuah resep penghibur diri bagi
orang-orang semacam aku.
Pada suatu hari, karena
permasalahan kecil aku pindah mengajar di sekolahan lain, tapi masih tetap
berstatus sebagai guru tidak tetap pada sebuah yayasan yang lain lagi. Sejak
saat itu aku sangat jarang berjumpa dengan Slamet. Kiranya Allah memang sudah
memformat kisah kehidupan bagi setiap insan yang sedemikikan rupa, yang mesti
saja itu merupakan suatu rahasia yang hanya diketahui oleh sang Kholiq itu
sendiri, maka apapun yang sudah dilimpahkan kepada manusia, mesti terkandung
hikmah bagi mereka yang memahaminya.
Bel sekolah berbunyi tiga kali,
pertanda tiba saat istirahat. Akupun
bersama rekan-rekan guru memanfaatkan waktu itu untuk sekedar ngobrol kecil
bersama pak Man yang kepala TU, bersama bu Tutik dan bu Hj. Anis yang guru
Agama, bersama pak Anwar yang guru BP, juga bersama pak Andi yang Kepala
Sekolah. Namun menjelang habis waktu istirahat, tiba-tiba aku dan juga
rekan-rekan guru yang lain kayaknya ternganga dengan hadirnya seorang tamu yang
wajahnya agak pucat, dengan tubuh agak loyo, Tapi aku tidak lupa sama sekali
kalau yang datang itu adalah Slamet.
Ibu Hj. Sri Anis yang juga
mengenal Slamet menyambutnya dengan sapaan lembut, ”Monggo, duduk, pak !”, bu
Anis menunjukkan kursi yang kosong. ”Kenapa njenengan sekarang kok jadi kurus,
pak ?”, bu Anis melanjutkan sambutannya dengan pertanyaan.
”Aku ini tadi dari sekolahan
ngantarkan surat cuti kerja, bu. Lantas mampir kesini iuntuk sekedar
silaturahmi sekaligus mohon do’anya agar penyakitku segera sembuh”, jawab
Slamet.
”Sebenarnya kamu ini sakit apa, to
Mik ?”, aku menyambung.
Slamet mulai berkisah tentang
penyakitnya yang komplikasi antara ginjal dan diabetis, tentang situasinya di
rumah, dan tentang yang lain-lain lagi. Pokoknya tentang segala macam yang
bertautan dengan dirinya. Tentang kisah cinta dengan istrinya yang tak pernah
padam, walaupun dalam hati kecilnya ada seberkas rasa bersalah yang tak bisa
ditebus dengan harta benda. Tetapi siapa sih yang menyengaja ? Pertanyaan itu tak pernah terjawab. Bahkan
semenjak Slamet berpamitan mohon diri yang katanya mau pulang ke rumah
saudaranya, semenjak itu pula kabar yang berkembang bahwa penyakit Slamet
bertambah kronis. Sampai pada sebuah pagi yang cerah, bel Hp-ku berbunyi, pak
Andi yang kepala sekolahku itu kirim SMS yang berbunyi ” Inalillahi wa
Inailaihi Roji’un, telah pulang ke Rahmatullah teman kita Slamet tadi malam,
jenasah akan dimakankan pada pagi ini jam 09.00. Mohon teman2 bisa hadir untuk
memberikan penghormatan yang terakhir”.
Diceritakan 2 tahun yang lalu
0 Response to "CERPEN MENYEDIHKAN DENGAN JUDUL "CINTA SLAMET DIBAWA MATI" "
Posting Komentar