MENYIBAK KADO TERMAHAL DIBALIK HARPENNAS
























 Assalamu’alaikum War Wab.

Fenomena Pendidikan
             Tanggal 2 Mei adalah hari Pendidikan Nasional yang telah beken disebut-sebut dengan julukan “HARPENNAS”. Hampir disetiap unsur jajaran pendidikan dari tingkat pelosok sampai tingkat metropolitan merayakannya dengan berbagai kegiatan. Upacara bendera, pagelaran seni, lomba olah raga, sampai kegiatan sosial yang bersentuhan dengan masyarakat secara langsung, tak terlewat dari agenda tersebut. Dalam kronologi keberadaannya, semakin bertambah umur seolah kian divavoritkan dalam daftar nominasi kegiatan masyarakat, terutama para siswa, guru, dan instansi terkait atau yang dikaitkan dengan moment tersebut.
           Laksana terbitnya mentari di langit timur yang cerah, kian meninggi kian terang cahayanya. Demikianlah sebaris kiasan yang lebih pantas untuk mengilusikan tebaran manfaat yang diperoleh dari keberadaan pendidikan di muka bumi ini. Dari manusia primitive berangsur-angsur mengalami perubahan menjadi manusia yang beradap dan berkepribadian, evolusi itu bisa terlaksana karena adanya pendidikan. Bermula dari manusia yang miskin pengetahuan berubah menjadi manusia yang berwawasan iptek, ini juga tak terlepas dari peran pendidikan. Sehingga pendidikan tidak hanya sekedar pelengkap kebutuhan manusia, melainkan sebagai kebutuhan vital yang sejajar dengan kebutuhan pangan, sandang dan papan.
               Pendidikan yang berinteraksi ke dalam jiwa dan raga secara benar akan membentuk manusia yang sehat fisik maupun pikirannya. Manusia sehat, berakhlak mulia, berbudipekerti luhur, cerdas, berwawasan dan berpengetahuan adalah hasil karya proses pendidikan yang benar sesuai dengan kaidah logika dan agama. Maka tiada ungkapan lain yang lebih benar tentang alokasi waktu kebutuhan pendidikan bagi manusia, selain yang telah difatwakan oleh Rosulullah Muhammad SAW , bahwa pendidikan bagi umat manusia dimulai semenjak turun dari ayunan sampai kembali ke liang lahat. Yang artinya, bahwa pendidikan itu harus diinteraksikan ke dalam setiap manusia sepanjang hayat. Tak ada batasan waktu untuk melaksanakan proses pendidikan alias belajar. Long life education, demikianlah pepatah dalam bahasa ingris melabelkan, artinya bahwa belajar berlangsung sepanjang hidup. Manusia yang tidak mengindahkan peringatan Rosulullah itu niscaya akan memperoleh kerugian, karena telah menyia-nyiakan kesempatan dalam kehidupannya yang hanya terjadi sekali di dalam kronologi keberadaanya di alam ini.

Merespon Pendidikan
               Menelaah tanggapan manusia terhadap pendidikan, semestinya tidak malu untuk berkata jujur, bahwa sebenarnya masih banyak anak manusia yang belum menempatkan prendidikan sebagai figure yang difaforitkan. Mereka yang demikian itu, mayoritas merespon pendidikan hanya setengah hati. Penyebabnya, karena masih mengalahvitalkan dengan kepentingan lain yang lebih mengundang nafsu dari pada logika. Nafsu yang bisa menghadirkan kebahagiaan dan kepuasan, tentunya. Nafsu ini akan mengecilkan arti pentingnya pendidikan di mata mereka.  Memang untuk merespon pendidikan secara benar, lebin cenderung membutuhkan kesungguhan, ketekunan, dan terlebih kesabaran. Sehinga kondisi yang terbentuk lebih banyak menjauhkan diri dari aktivitas yang tidak bermanfaat, serta melelahkan fisik maupun pikiran.  Bagi mereka yang menghantukan kondisi semacam itu, akan menganggap bahwa merespon pendidikan adalah sebuah pekerjaan sampingan, sebatas mereka suka. Toh kebahagiaan hidup tidak ditentukan oleh kadar pendidikan yang dimilikinya, sangkalnya.
                 Tempo dulu, memang tak sedikit para pribumi negeri ini yang minim pendidikan. Bukan berarti mereka tidak suka terhadap pendidikan. Tapi, pihak colonial yang waktu itu membangun kendala yang menghalangi langkah gerak mereka, sehingga mereka tak bisa bersentuhan dengan pendidikan. Kendati pendidikan formal sulit untuk diraih, namun dengan cara yang bisa dilakukan para pribumi banyak yang menuntut pendidikan di jalur non formal. Ini menunjukkan, bahwa pada saat itu ambisi untuk meraih pendidikan masih solid, biarpun untuk mewujudkan iktikat itu bukan pekerjaan yang mudah. Sehingga pada periode berikutnya, setelah kendala yang menghadang dapat teratasi, bangsa kita pernah terkategori sebagai bangsa yang kuaitas pendidikannya cukup memadai.
                Dewasa ini kita boleh berbangga, jika menyimak data pendidikan public. Sudah bisa dipastikan, tak ada masarakat kita yang belum memiliki ijasah sebagai bukti pernah sekolah, kecuali para jompo dan para teman kita yang kehilangan ingatannya. Ini sebuah prasasti yang mesti diperhitungkan, tidak sekedar dipertanyakan. Sudahkah angka kuantitas pendidikan masyarakat itu sinkron dengan angka kualitasnya ? Jika sudah, maka level peringkat kualitas pendidikan bangsa tidak terpandang kecil di mata dunia. Tapi jika jawabnya ‘belum’, maka kita tak semestinya selalu merancang teori dan teori tanpa solusi.
                 Seolah sudah menjadi hukum adat, setiap anak Indonesia harus sekolah. Maka hampir tak dijumpai seorang anak yang tidak sekolah. Orang tua, atau si anak itu sendiri akan merasa malu dengan   tetangga jika tak mau sekolah. Mengevaluasi fenomena ini, timbul suatu kesan, bahwa tujuan sekolah telah bergeser, dari semula mencari pengetahuan berubah menjadi penutup gengsi atau malu. Tujuan sekolah dipelintir, diubah untuk mengikuti tradisi masyarakat. Sehingga upaya yang dilakukan untuk meraih hasil yang bakal dicapaipun juga sudah banyak dimodifikasi. Dari yang semula agar memperoleh bekal pendidikan yang bermanfaat, menjadi agar bisa mendapatkan ijasah untuk melamar kerja. Jadi hanya selembar sertifikat yang disebut ijasah itulah yang diharapkan, tentang ada dan tidaknya pengetahuan yang memadai, itu tidak begitu disyaratkan di jaman sekarang. Kalau pola pikir masyarakat sudah membudaya seperti itu, bukankah lembaga pendidikan bakal bergeser pula fungsinya, yaitu hanya sekedar penerbit ijasah belaka ? Faham inilah yang sangat membahayakan terhadap peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini, karena di negara lain sudah mulai tinggal landas ke era iptek yang semakin canggih dengan masyarakat yang semakin memadai pula tingkat pengetahuannya, sedangkan sebagian besar masyarakat di negeri ini tetap tenang di dalam keterpurukannya, akibat bangga dengan kemasan yang diperebutkan sedangkan isinya tak bisa diharap  manfaatnya.
                Mengkritisi selintas tentang kondisi pendidikan di negeri ini, bukan saatnya lagi untuk mencari siapa yang dipantaskan menjabat selaku kambing hitam, namun yang patut diperebutkan adalah siapa yang berkewajiban menyandang tanggung jawab sebagai kambing putih, artinya mau dan mampu menyelematkan infeksi pendidikan yang semakin mewabah. Mestinya siapa saja yang mencintai statusnya sebagai warga negara Indonesia berkewajiban melaksanakan tugas itu, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Terlebih para pelaku dan perancang tentang penerapan serta pengelolaan pendidikan di negeri ini, sudah semestinya sesegera mungkin membentuk system yang mampu membangkitkan kesadaran bangsa tentang arti pentingnya kualitas pendidikan secara nyata. Sehingga faham tentang lambang kualitas yang disinkronkan dengan selembar sertifikat tidak semakin mewabah dalam persepsi masyarakat. Semoga dengan adanya peringatan hari pendidikan kali ini, semua unsure yang terkait dengan masalah pendidikan berkenan memahami perihal pendidikan sebagaimana terurai di atas. Selamat merayakan HARPENNAS, semoga kesuksesan bisa kita raih di hari esuk. Amiin

              Wassalamu’alaikum War Wab.
                                                                                   Pati Utara, awal Mei 2016.



                 


Related Posts:

0 Response to "MENYIBAK KADO TERMAHAL DIBALIK HARPENNAS"

Posting Komentar