TERKUBUR SEMAK ILALANG (KISAH NYATA : MENGUNGKAP KISAH KEPALA SD PENGABDI SEJATI)

 
 Assalamu'alaikum War Wab.
Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional kali ini perkenankan saya mempersembahkan sebuah kisah nyata yang pernah ada di daerah Pati Utara. Tidak banyak yang mengabadikan kisah tersebut, karena kisah itu terseting di daerah pedesaan. Namun saya selaku saksi hidup, di hari yang bersejarah ini mencoba untuk menceritakan kisah tersebut kepada orang lain, terutama para generasi muda harapan bangsa. Nah, demikian inilah kisahnya,

Cerpen Pilihan 
Judul     : Terbubur Semak Ilalang
Penulis  : Sikarang Batukapur
     

            Pada saat itu tak ada pilihan lain. Satu-satunya siasat yang dianggapnya canggih adalah menceburkan diri di genangan air busuk selokan pinggiran pasar. Mestinya, perilaku semacam itu bukan pikiran sehat yang mengendalikan, dan  bisa  saja dikatakan tindakan yang teramat tolol. Tapi mengapa malah dianggap sebagai penyelesaian yang terbaik ?. Baru disebut air selokan saja, sudah menimbulkan gambaran yang kotor, keruh dan kumuh di benak. Apalagi tempatnya di pinggiran pasar, tentu saja tidak lepas dari bau busuk dan anyir yang sangat menyengat dan mengundang lalat. Belum lagi kotoran padat maupun cair yang tak jarang pula  dibuang di situ oleh makhluk Tuhan yang tak punya akal, yaitu anjing, kucing, dan orang gila. Maka, walaupun  pilihan konyol itu seolah muncul dari balik alam  bawah sadar, tapi sebenarnya tak lebih sebagai respon dari kecerdikannya mengantisipasi situasi pada saat itu. Dan memang itu satu-satunya cara yang harus dilakukan, sebagai tebusan  keselamatan jiwanya yang mendadak dieksekusi oleh ketakutan yang membabibuta. Desingan peluru panas pasukan Dai Nippon menyisir kawasan pasar Peterongan Semarang. Itulah biang histeris yang memporakporandakan sekelompok pasukan Tentara Pelajar yang tengah berdiskusi mengatur strategi penyerangan terhadap tentara Jepang menjelang fajar tiba. Namun tak tersangka sebelumnya, tiga truk divisi serdadu Jepang  tiba-tiba    datang dengan memamerkan serentetan ledakan senapan mesin, mengusik keheningan malam.
               Pada masa itu, negeri ini butuh pejuang yang berani dan rela mempertaruhkan jiwa raganya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Maka para pelajarpun tak berdiam diri. Dengan penuh keikhlasan mereka menggandakan kewajibannya sebagai kesuma bangsa. Bukan saja belajar untuk menambang ilmu, namun dengan tekat bulat dan semangat membara mereka mengangkat senjata sebagai prajurit. Termasuk Kasmina, satu dantara pemuda yang meniarapkan diri di air comberan selokan pinggiran pasar Peterongan Semarang waktu itu. Disamping menyandang tugas sebagai Tentara Pelajar, dia juga bertanggungjawab sebagai siswa Sekolah Guru Atas (SGA). Sebenarnya, dari segi pemikiran maupun karakter telah mempersiapkannya untuk menjadi seorang guru. Namun apa kata bangsa, jika calon pendidik tak acuh pada penderitaan rakyat.
                Hidup sebagai pemburu dan diburu lawanpun dijalani Kasmina dengan tabah sampai gerbang kebebasan tiba. Negeri ini sepenuhnya meraih kemerdekaan dan kedaulatan, inilah harapan yang ditunggu-tunggu. Kebebasan merancang nasib boleh dimiliki oleh siapa saja, termasuk pemuda Kasmina yang memilih untuk menjadi guru demi melanjutkan perjuangannya membina anak bangsa. Dia sadar betul, bahwa masa depan negeri ini butuh sentuhan tangan profesional generasi penerus yang cerdas, terampil, dan berakhlak mulia. Di medan itulah pemuda Kasmina hendak menyambung pengabdian untuk bangsa dan negara.
                “Sudah dapat berapa, pak….?”, tanya lelaki muda sambil tersenyum hangat.
               “Baru sembilan”, jawab lelaki setengah baya itu, singkat. “Biasanya menjelang asyar seperti ini sudah dapat lumayan. Tak kurang dari lima belas. Malah sering lebih. Ya, mau bilang apa, memang yang namanya rejeki itu misteri”, lanjut lelaki setengah baya sambil menghela nafas.
               Sebentar lagi memang harus  pulang walaupun baru memperoleh sembilan ekor burung perkutut. Tak boleh kecewa. Bukankah upaya sudah dilakukan ? Tentang hasil adalah ketentuan Allah. Dari pada tidak berbuat sama sekali, apa yang bisa didapat ? Memang kali ini baru dapat jatah rejeki yang kecil. Dialog batin lelaki setengah baya itu meredam kekesalan.
                   “Ma’af, kenalkan pak, nama saya Wisnu, yang merawat ladang jagung ini”,lelaki muda yang berwarna Wisnu itu sembari mengulurkan tangan kanannya.
                   “Nama saya Kasmina. Tinggal di desa Ngetuk, kecamatan Gunung Wungkal, kabupaten Pati”, balas lelaki setengah umur itu sembari menggenggam tangan Wisnu. “Bapak juga minta ma’af, ya mas, karena telah pakai kebunmu tanpa lapor dulu”, Kasmina menambahkan.
                   “Tak apa pak. Pakai saja kapan bapak suka”.
                   Penjaring burung perkutut itu ternyata mantan tentara pelajar yang bernama pak Kasmina. Profesi sebagai penangkap burung dilakukan  karena harus mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya,  Bukan berarti dia telah mendholimi ikrar hatinya untuk melanjutkan pengabdian selaku pendidik anak bangsa. Ikrar itu tetap hidup, dan tak boleh mati mendahului kepergian jiwanya. Maka beberapa orang akan menjumpai Kasmina si penjaring burung perkutut di saat-saat sekolah libur. Sedangkan di waktu lain, dijumpainya Kasmina sebagai Kepala SD Negeri 2 Ngetuk, kecamatan Gunung Wungkal, kabupaten Pati.
                   Pak Kasmina tak pernah menyesal dengan keputusan hati yang dijalani miskipun berbuntut penderitaan. Dia sadar betul, sebagai penanggungjawab ekonomi keluarga harus bisa memperlakukan anak istri sebagaimana layaknya. Tak cukup dengan kasih sayang, pengetian, maupun perhatian, tapi  untuk mencukupi kebutuhan keseharian harus ada, walaupun sangat minim. Sedangkan gaji kepala SD yang diterima setiap bulannya belum impas untuk kebutuhan itu, malah bisa dibilang kurang. Itulah penyebab Kasmina harus mengkais rejeki dari sumber lain untuk mengurangi beban hutang agar tidak kian melilit. Sedangkan di belahan hati lain, juga tak akan diingkari, sebagai figur penaggungjawab dinamika pendidikan anak bangsa mesti harus diperlakukan dengan penuh keseriusan, hingga mampu menghasilkan karya nyata yang bermanfaat. Karena itu, selain hari libur sekolah, Kasmina lebih banyak menyibukkan diri di sekolah, mewujudkan kreativitasnya untuk perubahan yang lebih baik. Apalagi tempat tinggalya berdekatan dengan lokasi sekolah. Sehinga gambaran apa yang diimpikan pada sekolah itu sepertinya selalu tampil di depan matanya.
                   “Nanti sore les apa, pak ?”, tanya Suparwi siswa kelas 5 pada pak Kasmina di saat akan pulang sekolah.
                   “Ya seperti biasanya, bahasa jawa”, balasnya singkat.
                   “Kenapa selalu bahasa jawa sih pak, tidak gantian pelajaran lain ?”, protes Suparwi.
                   “Biar kamu tahu unggah-ungguh, tata karma, sopan-santun, dan bisa berbahasa jawa dengan benar”, jelas Pak Kepala SD itu. Suparwipun diam, tak membantah.
                   Barangkali pak Kasmina telah menangkap gelagat kurang baik mulai  mengacam keberadaan tradisi mulia warisan leluhur. Terutama tata cara pergaulan sebagian remaja di masyakarat yang mulai bergeser ke arah dunia barat. Sehingga dalam bersikap dan berkomunikasi tak ada tuntunan yang harus diikuti. Tata karma dianggap sebagai pengetahuan yang cukup dimengerti saja, dan bukan suatu tindakan yang harus diamalan. Angapan itulah yang bakal menjadi virus pembunuh karakter luhur bangsa Indonesia. Sedangkanan kualitas ilmu pengetahuan jika tak imbang dengan karakter positip generasi muda akan sangat berbahaya. Skil dan kecerdikan tak bisa diharap menjadi alat penambang kesejahteraan dan kedamaian. Bahkan sebaliknya. Pekerjan haram yang meresahkan, menyakiti, dan menganiaya mayarakat akan menjamur di mana-mana. Kejujuran hukum hanya tinggal kemasannya, sedang ruhnya tak bisa  diharap banyak membela kebenaran. Berawal dari kekhawatiran yang menakutkan itulah, pak Kasmina mengawali tindakan preventif dengan menamkan pendikan karakter lewat tata karma.
                   Selaku kepala sekolah, telah cukup waktu pak Kasmina bergelut dengan pembenahan karakter anak didiknya. Namun tak sia-sia upaya yang telah dilakukan. Masyarakat mencium semua itu. Maka  dukungan dan kepercayaan masyarakatpun semakin semarak, memicu jumlah siswa yang bertambah dari tahun ketahun. Sehingga prestasipun  terangkat. Apalagi pemerintah desa setempat sering memakai tenaga dan pikiran pak Kasmina selaku  penatar P4 di kawasan sekitar tempat tinggalnya. Kepercayaan dari pemerintah itu mengiring gerak langkahnya menjadi kepala sekolah yang ditokohkan oleh siswa, guru, dan masyarakat. Maka citra SDN 2 Ngetuk pada masa kepemimpinan bapak Kasmina harum semerbak ibarat melati yang sedang mekar.
                   “Ada apa terbengong di sini mas “, suara sendu perempuan muda mengagetkanku. Lamunan yang telah terancang sesaat mendadak sirna. Kini situasi nyata hadir di depan mata. Semak belukar penuh ilalang dan tumbuhan liar telah merubah segalanya. Sederet bangunan yang tertata rapi, asri, dan rindang telah raib tak bersisa. Bahkan sebuah bendapun tak ada yang mampu dijadikan sebagai prasasti. Lantas kemanakah bangunan SDN 2 Ngetuk itu…?
                   “Aku bingung, mbak. Seingatku di sini dulu ada bangunan SD, sekarang kok berubah jadi semak belukar”, kupaparkan keherananku padanya.
                   “Benar, di sini dulu memang ada SD yang banyak muridnya. Tapi setelah kepala sekolahnya pindah tempat tinggal karena pensiun, berangsur-angsur surut, hingga tak diminati masyarakat. Kemudian ditutup. Bangunannya jadi tak terurus, akhirnya roboh dengan sendirnya”, perempuan muda itu menjelaskan.
                   “Kalau boleh tahu mbak ini siapa ?”,
                   “Saya kepala desa di sini. Kalau …., mas ?”,
                  “Nama saya Bagong, mbak. Saya anak ketiga pak Kasmina yang pernah jadi Kepala SD di sini. Saya memang sengaja ke sini, ingin mengenang sepenggal kisah ayah saya menjelang akhir hidupnya. Namun yang kulihat tak seperti yang kubayangkan semula. Tapi…, kenapa sekolahan ini tak diminati, mbak ?”,
             “Kepala sekolah penggantinya tak suka mengambil hati masyarakat, mas. Sehinnga animo mereka tergeser ke sekolah yang lain. Sepertinya mereka kaum priyayi yang enggan bergaul dengan orang-orang desa yang lusuh”.
                   “Ooo….., begitu. Yah, terimakasih, mbak sudah memberikan penjelasan kepada saya”
                   “Sama-sama, mas”.
                   Speda motor kuhidupkan. Gemuruh suara mesin menyertai kepergianku meninggalkan pemandangan yang menyakitkan itu. Buah perjuangan ayahku yang terintis di ujung hayat, kini telah raib terkubur semak ilalang. Hanya sepenggal kisah masyarakat setempat yang masih hidup sebagai saksi,  bahwa di tempat itu pernah bersemayan seorang pejuang pembenah karakter anak bangsa, yang tak pernah menuntut imbal jasa maupun penghargaan. Berharap disebut sebagai pahlawanpun tidak, karena sederet kalimat ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ itu  dilahirkan pada jaman yang berbeda.


Wassalamu'alaikum ar Wab

                                                                                  Pati Utara, 1 Mei 2016
                  
   


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

                    




Related Posts:

MENYIBAK KADO TERMAHAL DIBALIK HARPENNAS
























 Assalamu’alaikum War Wab.

Fenomena Pendidikan
             Tanggal 2 Mei adalah hari Pendidikan Nasional yang telah beken disebut-sebut dengan julukan “HARPENNAS”. Hampir disetiap unsur jajaran pendidikan dari tingkat pelosok sampai tingkat metropolitan merayakannya dengan berbagai kegiatan. Upacara bendera, pagelaran seni, lomba olah raga, sampai kegiatan sosial yang bersentuhan dengan masyarakat secara langsung, tak terlewat dari agenda tersebut. Dalam kronologi keberadaannya, semakin bertambah umur seolah kian divavoritkan dalam daftar nominasi kegiatan masyarakat, terutama para siswa, guru, dan instansi terkait atau yang dikaitkan dengan moment tersebut.
           Laksana terbitnya mentari di langit timur yang cerah, kian meninggi kian terang cahayanya. Demikianlah sebaris kiasan yang lebih pantas untuk mengilusikan tebaran manfaat yang diperoleh dari keberadaan pendidikan di muka bumi ini. Dari manusia primitive berangsur-angsur mengalami perubahan menjadi manusia yang beradap dan berkepribadian, evolusi itu bisa terlaksana karena adanya pendidikan. Bermula dari manusia yang miskin pengetahuan berubah menjadi manusia yang berwawasan iptek, ini juga tak terlepas dari peran pendidikan. Sehingga pendidikan tidak hanya sekedar pelengkap kebutuhan manusia, melainkan sebagai kebutuhan vital yang sejajar dengan kebutuhan pangan, sandang dan papan.
               Pendidikan yang berinteraksi ke dalam jiwa dan raga secara benar akan membentuk manusia yang sehat fisik maupun pikirannya. Manusia sehat, berakhlak mulia, berbudipekerti luhur, cerdas, berwawasan dan berpengetahuan adalah hasil karya proses pendidikan yang benar sesuai dengan kaidah logika dan agama. Maka tiada ungkapan lain yang lebih benar tentang alokasi waktu kebutuhan pendidikan bagi manusia, selain yang telah difatwakan oleh Rosulullah Muhammad SAW , bahwa pendidikan bagi umat manusia dimulai semenjak turun dari ayunan sampai kembali ke liang lahat. Yang artinya, bahwa pendidikan itu harus diinteraksikan ke dalam setiap manusia sepanjang hayat. Tak ada batasan waktu untuk melaksanakan proses pendidikan alias belajar. Long life education, demikianlah pepatah dalam bahasa ingris melabelkan, artinya bahwa belajar berlangsung sepanjang hidup. Manusia yang tidak mengindahkan peringatan Rosulullah itu niscaya akan memperoleh kerugian, karena telah menyia-nyiakan kesempatan dalam kehidupannya yang hanya terjadi sekali di dalam kronologi keberadaanya di alam ini.

Merespon Pendidikan
               Menelaah tanggapan manusia terhadap pendidikan, semestinya tidak malu untuk berkata jujur, bahwa sebenarnya masih banyak anak manusia yang belum menempatkan prendidikan sebagai figure yang difaforitkan. Mereka yang demikian itu, mayoritas merespon pendidikan hanya setengah hati. Penyebabnya, karena masih mengalahvitalkan dengan kepentingan lain yang lebih mengundang nafsu dari pada logika. Nafsu yang bisa menghadirkan kebahagiaan dan kepuasan, tentunya. Nafsu ini akan mengecilkan arti pentingnya pendidikan di mata mereka.  Memang untuk merespon pendidikan secara benar, lebin cenderung membutuhkan kesungguhan, ketekunan, dan terlebih kesabaran. Sehinga kondisi yang terbentuk lebih banyak menjauhkan diri dari aktivitas yang tidak bermanfaat, serta melelahkan fisik maupun pikiran.  Bagi mereka yang menghantukan kondisi semacam itu, akan menganggap bahwa merespon pendidikan adalah sebuah pekerjaan sampingan, sebatas mereka suka. Toh kebahagiaan hidup tidak ditentukan oleh kadar pendidikan yang dimilikinya, sangkalnya.
                 Tempo dulu, memang tak sedikit para pribumi negeri ini yang minim pendidikan. Bukan berarti mereka tidak suka terhadap pendidikan. Tapi, pihak colonial yang waktu itu membangun kendala yang menghalangi langkah gerak mereka, sehingga mereka tak bisa bersentuhan dengan pendidikan. Kendati pendidikan formal sulit untuk diraih, namun dengan cara yang bisa dilakukan para pribumi banyak yang menuntut pendidikan di jalur non formal. Ini menunjukkan, bahwa pada saat itu ambisi untuk meraih pendidikan masih solid, biarpun untuk mewujudkan iktikat itu bukan pekerjaan yang mudah. Sehingga pada periode berikutnya, setelah kendala yang menghadang dapat teratasi, bangsa kita pernah terkategori sebagai bangsa yang kuaitas pendidikannya cukup memadai.
                Dewasa ini kita boleh berbangga, jika menyimak data pendidikan public. Sudah bisa dipastikan, tak ada masarakat kita yang belum memiliki ijasah sebagai bukti pernah sekolah, kecuali para jompo dan para teman kita yang kehilangan ingatannya. Ini sebuah prasasti yang mesti diperhitungkan, tidak sekedar dipertanyakan. Sudahkah angka kuantitas pendidikan masyarakat itu sinkron dengan angka kualitasnya ? Jika sudah, maka level peringkat kualitas pendidikan bangsa tidak terpandang kecil di mata dunia. Tapi jika jawabnya ‘belum’, maka kita tak semestinya selalu merancang teori dan teori tanpa solusi.
                 Seolah sudah menjadi hukum adat, setiap anak Indonesia harus sekolah. Maka hampir tak dijumpai seorang anak yang tidak sekolah. Orang tua, atau si anak itu sendiri akan merasa malu dengan   tetangga jika tak mau sekolah. Mengevaluasi fenomena ini, timbul suatu kesan, bahwa tujuan sekolah telah bergeser, dari semula mencari pengetahuan berubah menjadi penutup gengsi atau malu. Tujuan sekolah dipelintir, diubah untuk mengikuti tradisi masyarakat. Sehingga upaya yang dilakukan untuk meraih hasil yang bakal dicapaipun juga sudah banyak dimodifikasi. Dari yang semula agar memperoleh bekal pendidikan yang bermanfaat, menjadi agar bisa mendapatkan ijasah untuk melamar kerja. Jadi hanya selembar sertifikat yang disebut ijasah itulah yang diharapkan, tentang ada dan tidaknya pengetahuan yang memadai, itu tidak begitu disyaratkan di jaman sekarang. Kalau pola pikir masyarakat sudah membudaya seperti itu, bukankah lembaga pendidikan bakal bergeser pula fungsinya, yaitu hanya sekedar penerbit ijasah belaka ? Faham inilah yang sangat membahayakan terhadap peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini, karena di negara lain sudah mulai tinggal landas ke era iptek yang semakin canggih dengan masyarakat yang semakin memadai pula tingkat pengetahuannya, sedangkan sebagian besar masyarakat di negeri ini tetap tenang di dalam keterpurukannya, akibat bangga dengan kemasan yang diperebutkan sedangkan isinya tak bisa diharap  manfaatnya.
                Mengkritisi selintas tentang kondisi pendidikan di negeri ini, bukan saatnya lagi untuk mencari siapa yang dipantaskan menjabat selaku kambing hitam, namun yang patut diperebutkan adalah siapa yang berkewajiban menyandang tanggung jawab sebagai kambing putih, artinya mau dan mampu menyelematkan infeksi pendidikan yang semakin mewabah. Mestinya siapa saja yang mencintai statusnya sebagai warga negara Indonesia berkewajiban melaksanakan tugas itu, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Terlebih para pelaku dan perancang tentang penerapan serta pengelolaan pendidikan di negeri ini, sudah semestinya sesegera mungkin membentuk system yang mampu membangkitkan kesadaran bangsa tentang arti pentingnya kualitas pendidikan secara nyata. Sehingga faham tentang lambang kualitas yang disinkronkan dengan selembar sertifikat tidak semakin mewabah dalam persepsi masyarakat. Semoga dengan adanya peringatan hari pendidikan kali ini, semua unsure yang terkait dengan masalah pendidikan berkenan memahami perihal pendidikan sebagaimana terurai di atas. Selamat merayakan HARPENNAS, semoga kesuksesan bisa kita raih di hari esuk. Amiin

              Wassalamu’alaikum War Wab.
                                                                                   Pati Utara, awal Mei 2016.



                 


Related Posts:

Kisah Inspiratif, Menyembunyikan Kebaikan Seperti Halnya Menyembunyikan Keburukan









           Ini adalah kisah dua sahabat yang terpisah cukup lama; Ahmad dan Zainal. Ahmad ini pintar, cerdas, tapi kurang beruntung secara ekonomi. Sedangkan Zainal adalah sahabat yang biasa saja, tapi keadaan orang tuanya mendukung karir masa depan.

Keduanya bertemu. Bertemu di tempat istimewa; koridor wudhu, koridor toilet sebuah masjid megah dengan arsitektur yang cantik, pemandangan pegunungan dengan kebun teh yang terhampar hijau di bawahnya. Sungguh indah mempesona.

Zainal, sudah menjelma menjadi seorang manager kelas menengah, necis, perlente, tapi tetap menjaga kesholihannya. Setiap keluar kota, ia menyempatkan singgah di masjid kota yang ia singgah. Untuk memperbaharui wudhu dan sujud syukur. Syukur masih mendapat waktu yang diperbolehkan shalat sunnah, maka ia shalat sunnah sebagai tambahan.

Ia tiba di Puncak, Bogor, mencari masjid. Sembari menepikan mobilnya, dan bergegas masuk ke masjid yang ia temukan.
Di sanalah ia temukan Ahmad. Terperangah. Ia tahu sahabatnya ini meski berasal dari keluarga tak berada, tapi pintar luar biasa.
Zainal tak sangka bila berpuluh tahun kemudian ia temukan Ahmad sebagai merbot masjid.

“Maaf, kamu Ahmad kan? Ahmad kawan Sekolah Menengah, dulu?”.
Yang disapa tak kalah mengenali. Keduanya berpelukan.
“Keren sekali kamu ya Mas… Mantap…”. Zainal terlihat masih dalam keadaan berdasi. Lengan yang digulung untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam ber-merk terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”.
Zainal menaruh iba. Ahmad dilihatnya sedang memegang kain pel, khas merbot. Celana digulung, dan peci 8 dongak hingga jidat lebar terilhat jelas.

“Mad… Ini kartu nama saya…”.
Ahmad melihat. “Manager Area…”. Wah, keren."
“Mad, selepas saya shalat, kita bincang ya? Maaf, kalau kamu berminat, di kantor saya ada pekerjaan yang lebih baik dari sekedar merbot di masjid ini. Maaf…”.
Ahmad tersenyum. Ia mengangguk. “Terima kasih ya… Nanti kita bincang.

Sambil wudhu, Zainal tak habis pikir. Mengapa Ahmad yang pintar, kemudian harus terlempar dari kehidupan normal. Ya, meskipun tak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai merbot, tapi merbot… ah, pikirannya tidak mampu membenarkan. Zainal menyesalkan kondisi negeri ini yang tak berpihak kepada orang yang sebenarnya memiliki talenta dan kecerdasan, namun miskin.

Air wudhu membasahi wajah… Sekali lagi Zainal melewati Ahmad yang sedang bebersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaan ini di perkantoran, maka sebutannya bukan merbot. Melainkan “Office Boy”.

Tanpa sadar, ada yang shalat di belakang Zainal. Tampaknya shalat sunnah. Ya, Zainal sudah menunaikan shalat fardhu di masjid sebelumnya.

Zainal sempat melirik. “Barangkali ini kawannya Ahmad…”.
Zainal menyelesaikan doa secara singkat, ingin segera bincang dengan Ahmad.
“Pak”, tiba-tiba anak muda yang shalat di belakangnya menegur.
“Iya Mas..?”
“Bapak kenal dengan bapak Insinyur Haji Ahmad…?”
“Insinyur Haji Ahmad…?”
“Ya, insinyur Haji Ahmad…”
“Insinyur Haji Ahmad yang mana…?”
“Itu, yang barusan bincang dengan Bapak…”
“Oh… Ahmad… Iya. Kenal. Kawan saya dulu di SMP. Sudah haji?”
“Dari dulu sudah haji Pak. Dari sebelum beliau bangun masjid ini…”.
Kalimat datar yang cukup menampar hati Zainal… sudah haji… dari sebelum bangun masjid ini…

Anak muda tersebut menambahkan, “Beliau orang hebat Pak. Tawadhu’. Saya lah merbot asli di masjid ini. Saya karyawan beliau. Beliau yang bangun masjid ini. Di atas tanah wakaf pribadi. Beliau bangun masjid indah ini sebagai transit bagi siapapun yang hendak shalat. Bapak lihat mall megah di bawah sana? Juga hotel indah di seberangnya? … Itu semua milik beliau... Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di sini. Bahkan salah satu kesukaannya, aneh; senang menggantikan posisi saya. Karena suara saya bagus, kadang saya diminta mengaji dan azan saja…”.
Wah, entah apa yang ada di hati dan di pikiran Zainal…
*****
Jika Zainal adalah kita, mungkin saat bertemu kawan lama yang sedang bersihkan toilet, segera beritahu posisi kita, siapa kita yang sebenarnya.

Atau jika kita adalah Ahmad, kawan lama menyangka kita merbot masjid, kita akan menyangkal, lalu menjelaskan secara detail begini dan begitu. Sehingga tahulah bahwa kita adalah pewakaf dan yang membangun masjid.

Kita bukan Haji Ahmad. Ia selamat dari rusaknya nilai amal, tenang, adem. Haji Ahmad merasa tidak perlu menjelaskan. Dan kemudian Allah yang memberitahu siapa sebenarnya. Orang yang ikhlas itu adalah orang yang menyembunyikan kebaikannya, seperti ia menyembunyikan keburukannya.

Sumber: https://www.facebook.com/KomunitasOneDayOneJuz/posts/1015373218904278




































===================================================================





Related Posts: